Friday 27 September 2013

STRATEGI PENGEMBANGAN WAKAF PRODUKTIF



STRATEGI PENGEMBANGAN WAKAF PRODUKTIF
Disampaikan pada Oreintasi Nazhir dan Pengembangan Wakaf Produktif Se-Kabupaten Tapin

Oleh : Eddy Khairani Z, S.Ag, M.Pd.I



A.    PENDAHULUAN

Dalam beberapa tahun terakhir ini, wacana pengembangan wakaf secara produktif di negeri kita cukup intensif, baik dari kalangan masyarakat maupun pemerintah. Hal ini dapat dimaklumi karena prinsip dari ajaran wakaf itu sendiri berbasis pada upaya optimalisasi peran kelembagaan Islam (Nazhir) untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.[1]
          Sebagaimana diketahui bahwa  pada saat ini telah ada sedikit pergeseran  definisi wakaf kearah yang lebih fleksibel dan menguntungkan, yakni bahwa wakaf diartikan sebagai perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya  atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.  Perkembangan yang perlu digarisbawahi ialah kemungkinanya  melakukan wakaf untuk jangka waktu tertentu, misalnya satu atau dua tahun, dan tidak mesti untuk muabbad atau selamanya sebagaimana yang lazim dipahami pada waktu yang lalu.[2]
Harus diakui, berbagai upaya pengelolaan wakaf secara produktif telah dilakukan, baik dari organisasi masa Islam, Nazhir, Perguruan Tinggi, LSM, maupun pemerintah sendiri. Lahirnya Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaannya merupakan bukti bahwa pemerintah menggarap wakaf secara serius sebagai payung hukum untuk mengembangkan perwakafan di masa mendatang. Bahkan upaya pemerintah meregulasi peraturan terkait dengan masalah tersebut masih terus dilakukan yang bertujuan memberdayakan lembaga-lembaga keagamaan secara optimal untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan  masyarakat banyak. Meski upaya pemerintah tersebut perlu didukung kerja sama, sinergi, dan keseriusan semua pihak yang terkait (stake holders) agar wakaf benar-benar berdampak positif bagi masyarakat.
Jika mencermati kekayaan wakaf yang kita miliki, khususnya wakaf tanah yang memiliki luas lebih dari 2,7 milyar meter persegi, sebenarnya kita dapat memberdayakannya secara lebih optimal. Jumlah tanah wakaf yang apabila dikumpulkan menjadi satu melebihi luasnya kota Jakarta merupakan potensi yang sungguh sangat besar. Tentu, tidak semua tanah wakaf harus dikelola secara produktif, dalam arti harus menghasilkan uang, tetapi setidaknya dari jumlah tersebut sekitar 10 persen dapat dikelola secara produktif.

Oleh karena itu, upaya pengembangan wakaf harus dilakukan dengan pola yang integratif dan terencana dengan baik, sehingga wakaf dapat dikelola secara optimal dan memberi manfaat yang lebih luas bagi kepentingan sosial.[3] Dengan demikian yang dikelola secara produktif  ekan menjadi salah satu pilar yang perlu diperhitungkan dalam mengatasi keterpurukan ekonomi  masyarakat dana jalan alternatif pengentasan kemiskinan.[4]


B. Problematika Perwakafan di Indonesia

1.  Kuatnya paham lama umat Islam dalam pengelolaan wakaf, seperti adanya anggapan bahwa wakaf itu milik ALLAH semata yang tidak boleh diubah/ganggu gugat. Atas pemahaman itu, banyak tokoh masyarakat atau umat Islam tidak merekomendasikan wakaf dikelola secara produktif. Selain itu, belum utuhnya pemahaman bahwa wakaf memiliki fungsi sosial yang lebih luas dan tidak terbatas pada ibadah mahdhah.
2.  Kurangnya sosialisasi secara lebih luas terhadap paradigma baru untuk pengembangan wakaf secara produktif. Sosialisasi massif dengan memasukkan wakaf sebagai bagian dari instrumen pengembangan ekonomi umat menjadi aspek penting bagi pengembangan gagasan wakaf produktif. Dengan kurangnya pengetahuan masyarakat atas pentingnya pemberdayaan wakaf untuk kesejahteraan umum menjadi problem yang harus dipecahkan bersama.
3.  Belum mempunyai persepsi yang sama, peran dan sinergi para pejabat teknis wakaf di daerah dengan para pihak terkait terhadap upaya pemerintah pusat dalam upaya pengembangan wakaf. Para pejabat teknis lebih banyak berkutat pada penanganan yang bersifat linier dibandingkan memasarkan gagasan strategis dalam pengembangan wakaf yang lebih berwawasan sosial.       
4. Nazhir belum profesional sehingga wakaf belum dikelola secara optimal. Posisi Nazhir menempati peran sentral dalam mewujudkan tujuan wakaf yang ingin melestarikan manfaat wakaf. Profesionalisme nazhir di Indonesia masih tergolong lemah. Mayoritas dari mereka lebih karena faktor kepercayaan dari masyarakat, sementara kompetensi minimal sebagai pengelola wakaf secara produktif belum banyak dimiliki.
5. Lemahnya kemitraan dan kerjasama antara stake holders wakaf untuk menjalin kekuatan internal umat Islam dalam mengelola dan mengembangkan wakaf secara produktif, sepeti organisasi massa Islam, kalangan intelektual, LSM, tokoh agama, termasuk aparat pemerintah. Kemitraan mereka lebih pada upaya-upaya yang masih bersifat artifisial yang belum menyentuh pada aspek kerja sama konkrit, terencana dan massif.
6.   Ekonomi global yang fluktuatif akibat hancurnya ekonomi Negara adi kuasa (Amerika Serikat) sangat berpengaruh terhadap pengembangan ekonomi dunia. Secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan ekonomi mikro dan makro sebuah negara. Bahkan berdampak pada aspek-aspek non ekonomi, khususnya politik.
7. Sedikit para inisiator (promotor) dari umat Islam yang membuka akses kepada para investor dari Timur Tengah yang memiliki dana yang melimpah. Banyaknya kekayaan wakaf yang dimiliki oleh umat Islam Indonesia seharusnya menjadi daya tarik untuk pengembangan secara lebih produktif dengan melibatkan para investor asing yang memiliki perhatian terhadap pengembangan wakaf.[5]   

C. Beberapa Hal Sekitar Wakaf
              Sebagaimana diketahui bahwa  pada saat ini telah ada sedikit pergeseran  definisi wakaf kearah yang lebih fleksibel dan menguntungkan, yakni bahwa wakaf diartikan sebagai perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya  atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.  Perkembangan yang perlu digarisbawahi ialah kemungkinanya  melakukan wakaf untuk jangka waktu tertentu, misalnya satu atau dua tahun, dan tidak mesti untuk muabbad atau selamanya sebagaimana yang lazim dipahami pada waktu yang lalu.
          Disamping itu mengenai pengertian harta benda wakaf sendiri juga mengalami  pergeseran arti kearah yang lebih baik dan memudahkan, yakni bahwa  harta benda wakaf ialah harta benda yang diwakafkan oleh wakif, yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nulai ekonomi menurut syariah.   Harta benda wakaf tersebut dapat berupa  harta benda tidak bergerak maupun yang  bergerak.  Harta benda  tidak bergerak meliputi:
1.       Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang sudah maupun yang belum terdaftar.
2.       Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana di atas
3.       Tanaman atau benda lain yang berkaitan dengan tanah
4.       Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan
5.       Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.  (psl. 16  ayat 2 uu No. 41/2004 ttg Wakaf)
Sedangkan harta wakaf bergerak meliputi: Uang, Logam mulia, Surat berharga, Kendaraan, Hak atas kekayaan intelektual, Hak sewa, dan Harta bergerak lain sesuai ketentua syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.  (psl. 16  ayat 3 uu No. 41/2004 tentang Wakaf)
Kesemuanya itu menunjukkan bahwa harta wakaf atau harta yang dapat diwakafkan itu tidak hanya berupa tanah atau harta tidak bergerak lainnya, tetapi juga meliputi harta-harta lain.[6]

D. Langkah-langkah Operasional

1.  Regulasi peraturan perundang-undangan wakaf;
Ditjen Bimas Islam terus melakukan regulasi di bidang peraturan perundang-undangan wakaf. Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, saat ini sedang disusun Draft Peraturan Menteri Agama tentang Petunjuk Pelaksanaan Wakaf di Indonesia. Dengan PMA tersebut diharapkan praktik wakaf dapat berjalan sebagaimana mestinya untuk kepentingan kesejahteraan umum.

2.  Sosialisasi peraturan per-UU wakaf dan paradigma baru wakaf;
Dalam rangka untuk memasyarakatkan peraturan perundang-undangan wakaf dan paradigma baru wakaf di Indonesia, Ditjen Bimas Islam melakukan sosialisasi melalui berbagai event lokal maupun nasional, seperti: (1) Lokakarya perwakafan masyarakat kampus; (2) Sosialiasi Wakaf Tunai di lingkungan BMT dan LKS; (3) Training manejemen pengelolaan wakaf di lingkungan Nazhir, dan lain-lain. Sosialisasi tersebut dilakukan bertujuan menginformasikan kepada masyarakat pada umumnya, dan kepada para aparat Negara yang terkait dengan pengelolaan wakaf di Indonesia, sekaligus menjadikan media massa sebagai mitra pemerintah dalam upaya pemberdayaan wakaf.

3.  Sertifikasi, inventarisasi, dan advokasi harta benda wakaf;
Untuk menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf terkait dengan pengamanan harta benda wakaf di Indonesia, Ditjen Bimas Islam menetapkan berbagai kebijakan, yaitu:
a.  Menyelesaikan proses sertifikasi terhadap tanah-tanah wakaf di berbagai daerah yang belum memiliki sertifkat wakaf. Sertifikasi terhadap tanah wakaf merupakan langkah pengamanan asset-aset wakaf di Indonesia secara hukum dari berbagai kepentingan di luar wakaf.
b.   Inventarisasi harta benda wakaf di seluruh Indonesia melalui system komputerisasi.
c.  Melakukan pemetaan potensi harta benda wakaf, sehingga dapat diketahui potensi yang dapat dikembangkan.
d.  Melakukan advokasi, perlindungan dan penyelesaian sengketa tanah wakaf dengan pihak-pihak ketiga.  

   
4.  Peningkatan kualitas Nazhir dan lembaga wakaf;
Nazhir dan lembaga pengelola wakaf sebagai ujung tombak pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf diberikan motivasi dan pembinaan dalam rangka meningkatkan profesionalisme manajemen, melalui berbagai pelatihan dan orientasi. Kualitas Nazhir di Indonesia terus diberikan motivasi dan arahan dalam rangka melakukan pembenahan, baik menyangkut kemampuan manajerial maupun skill individu yang sangat menentukan dalam pemberdayaan wakaf secara produktif.   

5.  Menfasilitasi jalinan kemitraan investasi wakaf produktif;
Sebagai motivator dan fasilitator, Ditjen Bimas Islam memfasilitasi di berbagai event dalam rangka untuk menggalang kemitraan usaha dengan para calon investor seperti Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) di beberapa daerah dalam pemberdayaan wakaf secara produktif. Aset-aset wakaf di Indonesia yang cukup besar sangat potensial untuk dikembangkan dengan mengajak beberapa lembaga pihak ketiga yang tertarik dalam pengembangan wakaf.

6.  Memfasilitasi terbentuknya Badan Wakaf Indonesia (BWI);
Dalam rangka untuk mendukung pengelolaan dan pengembangan wakaf di Indonesia, Ditjen Bimas Islam memfasilitasi terbentuknya Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai lembaga yang memiliki tugas, diantaranya pembinaan terhadap Nazhir di seluruh Indonesia.[7]


E.  Peran Nazhir dalam Pengembangan Wakaf

1.   Nazhir (perseorangan, organisasi maupun badan hukum) menempati posisi kunci dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf, bahkan dapat dikatakan berhasil tidaknya pengelolaan dan pengembangan harta wakaf sangat tergantung kemampuan Nazhir yang bersangkutan.  
2.   Dengan Lahirnya Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004  Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU Wakaf, Dalam undang-undang tersebut diatur Nazhir memiliki kewajiban meliputi:
a.   mengadmistrasikan, mengelola, mengembangan, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf 
b.   membuat laporan secara berkala kepada Menteri Agama dan Badan Wakaf Indonesia (BWI) mengenai kegiatan perwakafan.


F.  Pengembangan Wakaf

1. Urgensi Pengembangan Harta Wakaf
Pengembangan harta wakaf merupakan hal baru dalam perwakafan di Indonesia, mengingat wakaf selama pengelolaan masih bersifat konvensional dan tradisional dan peruntukannya masih terbatas untuk keperluan sarana peribadatan dan sosial keagamaan. Sehingga walaupun harta wakaf berupa tanah yang jumlahnya cukup banyak namun belum dapat berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan umat.
Dengan keluarnya Fatwa MUI Tahun 2002 yang membolehkan wakaf uang dan lahirnya Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 Tentang Wakaf serta Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya, yang membuka peluang wakaf benda bergerak, seperti: logam mulia, surat berharga, HAKI, kendaraan dan juga uang.
Faktor yang mendorong perlunya pengembangan wakaf di Indonesia, meliputi:
a.   Kemajuan teknologi, faktor ini menyebabkan proses pengaktifan tanah wakaf lebih baik bagi lahan-lahan sempit dari tanah pemukiman yang ada di kota-kota khususnya, sehingga memungkinkan untuk membuat bangunan dengan bentuk memanjang atau bertingkat-tingkat melebihi bangunan yang ada sebelumnya.
b.   Dalam kondisi seperti ini, tidaklah logis membiarkan harta (tanah) wakaf yang kecil dengan manfaat yang sedikit. Sementara di sisi lain bangunan yang ada di sekitarnya dibangun dengan puluhan tingkat yang mencakar langit. Perbedaan yang mencolok ini, menuntut perlunya pengembangan harta wakaf, terutama dengan pertimbangan bahwa pengembangan ini bisa menjadikan manfaat wakaf dapat dilipat gandakan.
c.   Masa tidur panjang yang dialami oleh umat Islam telah menyebabkan kemunduran ekonomi. Untuk kembali mengaktifkan tanah wakaf khususnya dan harta wakaf lainnya umumnya.[8]

2. Pengembangan Wakaf Produktif
Apakah semua harta benda wakaf  harus diberdayakan secara produktif? Tidak semua harta benda wakaf harus diberdayakan secara produktif, tergantung situasi dan kondisi yang ada. Namun menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf  bahwa harta benda wakaf yang memiliki potensi  dan manfaat  ekonomi perlu dikelola  secara efektif  dan efesien untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan  kesejahteraan  umum. [9]

Katagori
Jenis Lokasi Tanah
Jenis Usaha
Pedesaan
Tanah persawahan
Tanah Perkebunan
Pertanian, tambak ikan, perkebunan, industri rumahan, tempat wisata

Tanah ladang/Padang rumput
Palawija, real estate, pertamanan, industri rumahan

Tanah rawa
Perikanan

Tanah Perbukitan
Tempat wisata, bangunan villa, industri rumahan, tempat penyulingan air miniral, dll
Perkotaan
Tanah Pinggir Jalan Raya


- Dekat Jalan Protokol
Perkantoran, Pusat Perbelanjaan, apartemen, hotel/penginapan, gedung pertemuan, dll

Dekat Jalan Utama
Perkantoran, pertokoan pusat perbelanjaan, rumah sakit,rumah makan, sarana pendidikan, hotel / penginapan, apartemen, gedung pertemuan, apotek, pom bensin, warnet, bengkel dll.

Dekat jalan TOL
Pom Bensin, bengkel, rumah makan,  warung, dll.

Dekat Jalan Lingkungan
Perumahan, klinik, apotek, sarana pendidikan, warung, warnet, jasa photo copy, dll

Tanah Dekat/didalam perumahan
Sarana pendidikan, klinik, apotek, warung klontong, catering BMT, dll

Tanah dekat Keramaian (Pasar, terminal, stasiun, sekolah umum dll)
Pertokoan, rumah makan, bengkel, warung,  warnet, klinik, jasa penitipan, dll.
Tanah Pantai
Pinggir Laut
Tambak ikan, Obyek wisata, budi daya rumput laut, kerajinan tangan

Rawa Bakau
Perkebunan
Sumber : Pamplet Pemberdayaan Tanah Wakaf Secara Produktif (Upaya Pengembangan Potensi Ekonomi Umat)

3.  Strategi Pengembangan Wakaf
Hampir semua wakif yang menyerahkan tanahnya kepada Nazhir tanpa menyertakan dana untuk membiayai operasional usaha produktif, tentu saja menjadi persoalan yang cukup serius. Karena itu, diperlukan strategi riil agar harta wakaf yang begitu banyak di seluruh provinsi di Indonesia dapat segera diberdayakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat banyak. Strategi riil dalam mengembangkan tanah-tanah wakaf produktif adalah :



a. Kemitraan
Nazhir harus menjalin kemitraan usaha dengan pihak-pihak lain yang mempunyai modal dan ketertarikan usaha sesuai dengan posisi tanah strategis yang ada dengan nilai komersialnya cukup tinggi. Jalinan kerja sama ini dalam rangka menggerakkan seluruh potensi ekonomi yang dimiliki oleh tanah-tanah wakaf tersebut. Sekali lagi harus ditekankan bahwa sistem kerja sama dengan pihak ketiga tetap harus mengikuti sistem Syariah, baik dengan cara musyarakah maupun mudharabah sebagaimana yang disebutkan sebelumnya. Pihak-pihak ketiga itu adalah sebagai berikut:
1) Lembaga investasi usaha yang berbentuk badan usaha non lembaga jasa keuangan. Lembaga ini bisa berasal dari lembaga lain di luar wakaf, atau lembaga wakaf lainnya yang tertarik terhadap pengembangan atas tanah wakaf yang dianggap strategis.
2) Investasi perseorangan yang memiliki modal cukup. Modal yang akan ditanamkan berbentuk saham kepemilikan sesuai dengan kadar nilai yang ada. Investasi perseorangan ini bisa dilakukan lebih dari satu pihak dengan komposisi saham sesuai dengan kadar yang ditanamkan.
3) Lembaga perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya sebagai pihak yang memiliki dana pinjaman. Dana pinjaman yang akan diberikan kepada pihak nazhir wakaf berbetuk kredit dengan sistem bagi hasil setelah melalui studi kelayakan oleh pihak bank.
4) Lembaga perbankan Internasional yang cukup peduli dengan pengembangan tanah wakaf di Indonesia, seperti Islamic Development Bank (IDB).
5) Lembaga keuangan dengan sistem pembangunan BOT (Build of Transfer).
6) Lembaga penjamin syariah sebagai pihak yang akan menjadi sandaran Nazhir apabila upaya pemberdayaan tanah wakaf mengalami kerugian.
7) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli terhadap pemberdayaan ekonomi umat, baik dalam atau luar negeri.
Selain bekerja sama dengan pihak-pihak lain yang memiliki hubungan permodalan usaha, nazhir wakaf harus mensinergikan program-program usahanya dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Perguruan Tinggi, Lembaga Konsultan Keuangan, Lembaga Arsitektur, Lembaga Manajemen Nasional, Lembaga Konsultan Hukum dan lembaga lainnya.

b. Terbentuknya Undang-Undang Wakaf dan Badan Wakaf Indonesia
Begitu pentingnya wakaf bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, maka untuk mendukung pengelolaan wakaf  secara produktif Pemerintah telah berhasil melahirkan   Undang-undang Wakaf dan Peraturan Pemerintah sebagai Pelaksanaannya. Undang-undang Wakaf dapat dikatakan merupakan rumusan konsepsi Fiqih Wakaf baru di Indonesia yang antara lain : meliputi benda yang diwakafkan (mauquf bih): peruntukan wakaf (mauquf ‘alaih); jenis harta yang boleh diwakafkan tidak terbatas benda tidak bergerak (tanah dan bangunan) maupun benda bergerak, seperti saham, uang, logam mulia, HAKI, kendaraan dan lain-lain serta diatur kewajiban dan hak Nazhir wakaf, ini semua guna diatur untuk menunjang pengelolaan wakaf secara produktif.
Undang-undang Wakaf[10] selain  sebagai hukum formal yang menjadi landasan dalam pengembangan wakaf, juga mengamarkan dibentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang mempunyai kewajiban membina lembaga kenazhiran yang ada di tanah air, agar Nazhir yang ada dapat berkembang.  Pembinaan oleh BWI kepada para Nazhir diharapkan terfokus terhadap usaha-usaha pengelolaan dan pengembangan harta wakaf, tujuannya agar harta wakaf dapat berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan umat.
Badan Wakaf Indonesia merupakan lembaga yang independen dan mempunyai peran strategis, diharapkan dapat membantu, baik dalam pembiayaan, pembinaan maupun pengawasan dan peningkatkan kualitas Nazhir agar para nazhir dapat melakukan pengelolaan wakaf secara produktif. Selain itu diharapkan BWI dapat memfasiltasi upaya penggalangan dana khususnya dana dari luar negeri.[11]



G.     Langkah – Langkah Pemberdayaan Tanah Wakaf
            Ada 4 faktor utama dalam pemberdayaan wakaf secara produktif, yaitu: potensi ekonomi wakaf, nazhir profesional, manajemen pengelolaan modern, pendayagunaan hasil. Adapun langkah – langkah yang harus dilakukan  menurut urutan prioritas dapat dijabarkan sebagai berikut :

1.      Pemetaan potensi ekonomi tanah wakaf
Sebelum  pemberdayaan tanah wakaf  dilakukan, pemetaan potensi ekonomi  harus dibuat terlebih dahulu. Sejauh mana dan seberapa mungkin tanah wakaf itu dapat  diberdayakan dan dikembangkan secara produktif? Faktor-faktor  yang perlu dipertimbangkan dalam pemetaan potensi ekonomi adalah letak geografis, seperti lokasi, dukungan masyarakat dan tokohnya, tinjauan pasar, dukungan teknologi, dll. Jika dalam pemetaan disimpulkan  bahwa tanah wakaf  memiliki potensi ekonomi, maka langkah kedua adalah studi kelayakan.

2.      Pembuatan proposal studi kelayakan usaha
Studi kelayakan usaha dalam bentu proposal  merupakan prasarat utama sebelum melakukan aksi pemberdayaan tersebut  dan dibuat berdasarkan analisa lengkap dengan menggunakan SWOT (Strength, Weakness, Oportunity, Threat) atau Kekuatan, Kelemahan, Kesempatan dan Ancaman. Isi proposal  paling tidak memuat beberapa hal, yaitu latar belakang, aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis dan teknologis, aspek organisasi dan manajemen, aspek ekonomi dan keuangan(biaya investasi, biaya operasi dan pemeliharaan, sumber pembiayaan, perkiraan pendapatan, proyeksi laba-rugi,dll), dan kesimpulan – rekomendasi.

3.      Menjalin kemitraan usaha
Setelah studi kelayakan usaha dibuat secara cermat, hal yang perlu dipikirkan adalah mencari mitra usaha untuk pemberdayaan dan pengembangan, baik dari perbankan syariah maupun investor usaha swasta.

4.      SDM yang berkualitas
Rekrutmen  dan kesiapan Sumber Daya manusia (SDM) dalam usaha produktif adalah hal yang mutlak. SDM yang profesional dan amanah[12] harus dijadikan perhatian utama Nazhir  yang akan memberdayakan tanah wakaf.  Jika Nazhir tidak memiliki kemampuan yang baik dalam usaha pengembangan, maka nazhir  dapat mempercayakan  kepada SDM yang memiliki kualitas  baik dan moralitas tinggi dari berbagai disiplin ilmu dan skill, seperti sarjana ekonomi, manajemen, komputer dan lain-lain.

5.      Manajemen Modern dan Profesional
Dalam pengembangan dan pengelolaan tanah wakaf secara produktif diperlukan pola manajerial yang modern, transparan, profesional dan akuntabel.

6.      Penerapan sistem kontrol dan pengawasan
Agar pemberdayaan dan pengembangan  wakaf produktif dapat berjalan dengan baik. Kontrol dan pengawasan yang baik. Kontrol dan pengawasan dapat diterapkan dalam lingkungan internal manajemen, maupun dari kalangan eksternal seperti masyarakat, LSM, akademisi, akuntan publik dan lain sebagainya. Penerapan kontrol dan pengawasan diharapkan agar tidak terjadi penyelewengan dan penyalahgunaan tanah wakaf.[13]



H. Kondisi Tanah Wakaf di Kabupaten Tapin

            Berdasarkan hasil pemutakhiran data tanah wakaf se Kabupaten Tapin tahun 2011 oleh Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tapin, tercatat jumlah keseluruhan tanah wakaf adalah 772.180,25 M2 yang terletak di 501 lokasi yang tersebar di seluruh kecamatan-kecamatan di Kabupaten Tapin. Pada umumnya pemanfaatan tanah wakaf di Kabupaten Tapin dapat diuraikan sebagai berikut : mesjid 100 lokasi dengan luas 208.872,40 M2, Langgar/Mushalla 235 lokasi dengan luas 73.384 M2, Madrasah/Sekolah 69 lokasi dengan luas 169.297 M2, Kuburan/Makam 76 lokasi dengan luas 161.824 M2, Tempat sosial seperti panti asuhan 21 lokasi dengan luas 158.802,85 M2. Lihat table berikut :

NO
Unit Organisasi
Jumlah
Lokasi
Luas M2
1
Kec. Tapin Utara
               85
        136.033,60
2
Kec. Tapin Selatan & Salam babaris
               54
        148.936,00
3
Kec. Tapin Tengah
               74
        142.316,25
4
Kec. Binuang & Hatungun
               93
        124.745,00
5
Kec. Candi Laras Selatan
               31
          33.095,10
6
Kec. Candi Laras Utara
               39
          71.876,00
7
Kec. Bakarangan
               27
             9.101,50
8
Kec. Piani
               18
          11.589,00
9
Kec. Bungur
               36
          63.302,80
10
Kec. Lokpaikat
               44
          31.185,00

JUMLAH
             501
        772.180,25

Sumber : Laporan Model F.7



GRAFIK TANAH WAKAF DI KABUPATEN TAPIN
TAHUN 2011

Sumber : LAKIP Penyelenggara Zakat Wakaf Kantor Kemenag Kab. Tapin 2011


: LAKIP Penyelenggara Zakat Wakaf Kantor Kemenag Kab. Tapin 2011





GRAFIK  PERKEMBANGAN KEGUNAAN TANAH WAKAF
TAHUN 2011

: LAKIP Penyelenggara Zakat Wakaf Kantor Kemenag Kab. Tapin 2011








I.  Penutup

Untuk mengoptimalkan potensi wakaf, dituntut kemampuan dan kerja keras kita untuk mewujudkannya, terutama dalam upaya merubah paradigma  terhadap pengelolaan harta wakaf. Kesamaan persepsi dan cara pendang terhadap pengembangan dan pemberdayaan wakaf produktif sangat penting agar tumbuhnya dukungan masyarakat guna terwujudnya perekonomian masyarakat yang kuat dan sejahtera.


----- TERIMA  KASIH ----



Sumber Bacaan :

Departemen Agama RI, Pamplet Pemberdayaan Tanah Wakaf Secara Produktif (Upaya Pengembangan Potensi Ekonomi Umat), (Jakarta: Dirjen Bimas Islam Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007)

----------------------------, Nazhir Profesional dan Amanah, (Jakarta: Dirjend Bimas Islam Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2008)

----------------------------, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggara haji, 2005)

M. Ichsan Amir Mujahid, Strategi Nazhir Dalam Pengembangan Wakaf Produktif, http://k2ichsan.blogspot.com/2012/06/strategi-nazhir-produktif-2.html, Diakses tanggal  05 Juni 2012

Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag, Paradikma Baru Dalam Pengelolaan dan Pemberdayaan Wakaf Produktif, http://www.walisongo.ac.id/view/?p=kolom&id=paradigma _baru_pengelolaan _dan_pemberdayaan_wakaf_produktif_di_indonesia , Dikases tanggal 05 Juni 2012

Kementerian Agama RI, Model Pemberdayaan  Wakaf Produktif, (Jakarta: Dirjend Bimas Islam, 2010)










































PARADIKMA BARU DALAM PENGELOLAAN DAN PEMBERDAYAAN WAKAF PRODUKTIF DI INDONESIA.
Oleh : Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag
Pendahuluan
          Bahwa  wakaf di Indonesia merupakan persoalan klasik yang sampai saat ini belum tuntas dan belum selesai seratus persen, walaupun perangkat peraturan perundangannya telah cukup banyak dan  menjanjikan.  Kasus-kasus menguapnya  sejumlah harta wakaf di berbagai daerah di hampir seluruh Indonesia, membuktikan bahwa di sana masih banyak masalah yang harus segera dipecahkan.
          Dengan hadirnya Undang-undang Nomor  41 tahun 2004 tentang  Wakaf, sesungguhnya dapat memberikan harapan yang cukup cerah dalam uapaya penyelamatan dan pemberdayaan serta pengembangan  wakaf untuk kesejahteraan masyarakat secara umum.  Akan tetapi sosialisasi dan pelaksanaannya sampai sekarang belum tampak menggembirakan.  Barangkali lokakarya wakaf ini merupakan salah satu wujud dari sosialisasi dan upaya  pelaksanaan undang-undang tersebut, serta upaya pengembangannya secara maksimal.
          Untuk tujuan itu, beberapa hal  yang insya Allah akan disampaikan di bawah ini  kiranya patut direnungkan bersama dan sekaligus  perlu ada komitmen bersama pula untuk mewujudkan wakaf di Indonesia  sebagai andalan dalam rangka  mensejahterakan masyarakat muslim secara riil dan merata. 
 Beberapa hal sekitar wakaf
          Sebagaimana diketahui bahwa  pada saat ini telah ada sedikit pergeseran  definisi wakaf kearah yang lebih fleksibel dan menguntungkan, yakni bahwa wakaf diartikan sebagai perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya  atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.  Perkembangan yang perlu digarisbawahi ialah kemungkinanya  melakukan wakaf untuk jangka waktu tertentu, misalnya satu atau dua tahun, dan tidak mesti untuk muabbad atau selamanya sebagaimana yang lazim dipahami pada waktu yang lalu.
          Disamping itu mengenai pengertian harta benda wakaf sendiri juga mengalami  pergeseran arti kearah yang lebih baik dan memudahkan, yakni bahwa  harta benda wakaf ialah harta benda yang diwakafkan oleh wakif, yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nulai ekonomi menurut syariah.   Harta benda wakaf tersebut dapat berupa  harta benda tidak bergerak maupun yang  bergerak.  Harta benda  tidak bergerak meliputi:
  1. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang sudah maupun yang belum terdaftar.
  2. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana di atas
  3. Tanaman atau benda lain yang berkaitan dengan tanah
  4. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan
  5. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.  (psl. 16  ayat 2 uu No. 41/2004 ttg Wakaf)
 Sedangkan harta wakaf bergerak meliputi:
  • Uang
  • Logam mulia
  • Surat berharga
  • Kendaraan
  • Hak atas kekayaan intelektual
  • Hak sewa, dan
  • Harta bergerak lain sesuai ketentua syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.  (psl. 16  ayat 3 uu No. 41/2004 ttg Wakaf)
Kesemuanya itu menunjukkan bahwa harta wakaf atau harta yang dapat diwakafkan itu tidak hanya berupa tanah atau harta tidak bergerak lainnya, tetapi juga meliputi harta-harta lain.
Hal lain yang  patut disyukuri ialah adanya Badan Wakaf Indonesia yang keberadaannya telah dinantikan sejak lama dan merupakan badan yang diharapkan dapat  memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional.  Badan Wakaf Indonesia ini mempunyai tugas:
  • Melakukan pembinaan terhadap Nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf
  • Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta wakaf berskala nasional dan internasional
  • Memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf
  • Memberhentikan dan mengganti Nadzir
  • Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf, dan
  • Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan. (psl. 49 ayat 1 UU No. 41/2004 ttg Wakaf)
Disamping itu mengenai wakaf  berupa uang secara terinci diatur dalam undang-undang.  Dalam psl. 28 dikatakan bahwa  wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang  melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh menteri.  Dalam pasal 29 dijelaskan lebih lanjut bahwa pernyataan wakaf  berupa uang dinyatakan  oleh Wakif dalam bentuk tertulis, dan kemudian diterbitkan sertifikat wakaf uang oleh lembaga keuangan syariah, dan diserahkan kepada Wakif dan Nadzir.  Semua ini dimaksudkan untuk memudahkan  secara praktis kaum muslimin untuk melakukan wakaf tunai berupa uang
Lebih dari itu dalam rangka  pengamanan harta-harta wakaf dan agar tidak terulang lagi peristiwa hilangnya sejumlah harta benda wakaf, maka setiap  harta wakaf  harus didaftarkan kepada instansi yang berwenang, maksimal tujuh (7) hari setelah ikrar wakaf ditandatangani  (psl. 32) atau sejak sertifikat Wakaf Uang diterbitkan (psl. 30).  Dan bagi harta wakaf yang telah dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum berlakunya undang-undang ini, seperti PP No. 28/1977, Inpres No. 1/1991, dan lainnya dianggap sah dan harus didaftarkan juga paling lambat lima (5) tahun setelah diundangkannya UU No. 41/2004 ini. Tidak berhenti di situ pendaftaran tersebut juga kemudian harus diikuti pencatatan dan pengadministrasian, serta pengumuman  kepada masyarakat oleh Menteri dan Badan Wakaf Indonesia (psl. 37 dan 38).
Walaupun harus diakui bahwa berdasarkan PP Nomor 28/1978 sesungguhnya telah diupayakan  penelusuran tanah-tanah wakaf dan upaya pensertifikatan.  Namun sampai saat ini masih belum efektif dan menjangkau  keseluruhan.  Memang kita  kemudian tahu bahwa  data per Pebruari 2003  tanah wakaf di Indonesia  sebanyak 362.471 lokasi dengan luas 1.475.198.586, 59 M2,  dan sekitar 75% telah tersertifikatkan  sedang selebihnya belum.[1]  Namun dengan lahirnya Undang-undang wakaf yang lebih tegas dengan hak, kewajiban dan sanksi ini diharapkan akan lebih efektif dalam mengamankan harta benda wakaf di Indonesia  di masa  mendatang.
Demikian juga mengenai  kewajiban dan hak Nadzir yang lebih diperjelas, termasuk sanksi yang diberikan apabila ada pelanggaran dalam pelaksanaan tugas tersebut. Dalam psl. 42 dijelaskan bahwa Nadzir berkewajiban mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya, dan pada pasal selanjutnya  ditekankan bahwa pengelolaan tersebut harus sesuai dengan  ketentuan syariah dan dilakukan secara produktif, bahkan bilamana diperlukan lembaga penjamin, juga diperkenankan  asalkan  lembaga penjamin tersebut juga  yang berdasar syariah.  Disamping itu Nadzir juga harus melakukan pengadministrasian, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf, serta melaporkan  pelaksanaan tugasnya kepada badan Wakaf Indonesia.  Namun  atas tugas-tugasnya tersebut Nadzir  dapat menerima  imbalan sebagai haknya maksimal 10 % dari hasil bersih pengelolaan dan pengembangan harta wakaf tersebut.
Dalam kaitannya dengan upaya peningkatan pengawasan dan juga kinerja Nadzir dan penyelamatan harta benda wakaf, ditentukan pula mengenai sanksi pidana sebagaimana dimuat dalam pasal 67, sebagai berikut:
  • Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan  hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana  dimaksud dalam pasal 41, dipidana dengan  pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah.
  • Setiap orang yang dengan sengaja  mengubah peruntukan harta benda wakaf  tanpa izin sebagaimana dimaksud  dalam pasal 44 dipidana dengan pidana penjara paling lama  4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah)
  • Setiap orang yang dengan sengaja  menggunakan atau mengambil  fasilitas atas hasil pengelolaaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi  jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud pasal 12, dipidana dengan pidana penjara  paling lama 3 (tiga) tahu, dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah)
Meskipun bunyi pasal-pasal tersebut diujukan untuk umum, yakni setiap orang, namun sesungguhnya yang dimaksud di situ lebih tertuju kepada pengelola harta wakaf, yaitu Nadzir,  ketimbang orang lain.
Dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas Nadzir, Undang-undang Wakaf memberikan kewenangan  kepada Badan Wakaf Indonesia untuk memberhentikan dan mengganti Nadzir (psl. 49) yang dipandang tidak cakap melaksanakan tugasnya,  yang kalau sebelum munculnya undang-undang ini, yakni menurut inpres No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam psl. 219 Nadzir ini diangkat oleh kepala  Kantor Urusan Agama kecamatan, setelah mendapat saran MUI kecamatan dan camat setempat.
Beberapa catatan penting
          Dalam hal pengelolaan harta benda wakaf sebagaimana dimaksudkan oleh undang-undang wakaf, yakni agar dapat berkembang dan dapat dimanfaatkan  secara maksimal bagi kesejahteraan sosial, maka yang paling memegang peranan sangat penting dan strategis ialah  Nadzir.  Walaupun dalam referensi fiqih klasik, peranan Nadzir tidak begitu dianggap penting, bahkan tidak termasuk salah satu rukun wakaf,  namun melihat tujuan dan kecenderungan pengembangan serta pemberdayaan wakaf yang diintensifkan saat ini, sudah saatnya  Nadzir ini mendapatkan perhatian khsusu dan lebih, bahkan  sudah pada saatnya dimasukkan ke dalam salah satu rukun wakaf.
          Karena itu rekrutmennya tidak menjadi hak wakif semata, atau hanya sekedar saran dan pertimbangan MUI kecamatan dan camat saja, tetapi lebih dari itu harus ada  campur tangan Badan Wakaf Indonesia.  Hal ini dimaksudkan agar Nadzir benar-benar orang yang  berkualitas dan mempunyai kualifikasi khusus yang dipersyaratkan oleh Badan Wakaf Indonesia.
Sementara ini persyaratan Nadzir sebagimana  yang terdapat dalam undang-undang, ialah meliputi:
  • Warga Negara Indonesia;
  • Beraga Islam;
  • Dewasa;
  • Amanah,
  • mampu secara jasmani dan rohani; dan 
  • Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. (psl. 10 ayat 1). 
Meskipun  secara umum syarat ini cukup memberikan harapan, namun menurut  hemat saya perlu dan bahkan harus ada penjelasan yang lebih terinci mengenai syarat kemampuan.  Saya lebih setuju dengan syarat penjelasan yang kemukakan oleh Eri Sudewo, CEO Dompet Duafa Republika, sebagai berikut:
Syarat Moral, meliputi:
  • Paham tentang hokum wakaf dan ZIS, baik dalam tinjasuan syariah maupun perundanga-undangan yang ada di Republik ini
  • Tahan godaan, terutama  menyangkut perkembangan usaha
  • Pilihan, sungguh-sungguhndan suka tantangan
  • Punya kecerdasan, baik emosional maupun spiritual
 Syarat manajemen, meliputi:

  • Mempunyai  kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership
  • Visioner
  • Mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual, social, dan pemberdayaan
  • Profesional dalam pengelolaan harta.
 Syarat bisnis, meliputi:
  • Mempunyai keinginan
  • Mempunyai pengalaman dan/atau siap domagangkan
  • Punya ketajaman melihat peluang usaha sebagaimana layaknya seorang interpreneur
 Tentu persyaratan jujur, adil, dan amanah sebagaimana di syaratkan oleh fiqh harus masuk di dalamnya.
Dengan syarat-syarat inilah diharapkan Nadzir harta benda wakaf akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, yakni mengelola, mengembangkan dan memberdayakan harta benda wakaf secara professional dan  insya Allah akan mendapatkan keuntungan maksimal dan dapat dipergunakan sesuai dengan tujuannya, yakni untuk kesejahteraan umat secara menyeluruh.
Pengembangan dan Pemberdayaan harta benda wakaf
          Sebagaimana diketahui bahwa  masih cukup banyak harta benda wakaf, terutama yang berupa tanah, yang belum dikelola secara baik dan maksimal sebagaimana diharapkan.  Untuk itu kiranya pada saat ini sudah mendesak untuk dikaji, dianalisis dan kemudian dirumuskan strategi pengelolaan dan menerapkannya dalam rangka pengembangan wakaf secara  berkesinambungan.  Semua ini  didasarkan atas keinginan agar harta benda wakaf dapat menjadi  salah satu alternative pemberdayaan ekonomi umat, yang muaranya ialah kesejahteraan umat secara keseluruan itu sendiri.
          Untuk hal itu perlu dibuat rencana program yang jelas dengan tahapan-tahapan yang jelas pula, dan dapat dipilah-pilah dalam jangka waktu tertentu; semisal jangka pendek, menengah dan panjang.
          Pada prinsipnya  yang perlu segera di wujudkan adalah pemfungsian Badan Wakaf Indonesia secara nyata dan maksimal.  Artinya BWI, yang keberadaannya telah diakui oleh undang-undang ini, kiranya perlu segera  direalisasikan dengan program-program nyata yang strategis.  Termasuk yang harus segera dilakukan adalah sosialisasi keberadaan BWI dan peran serta fungsinya, termasuk program-program strategisnya kepada seluruh masyarakat.
          Disamping itu penyiapan sumber daya manusia untuk dijadikan sebagai Nadzir yang mempunyai kualifikasi tertentu sebagaimana yang disebutkan di atas perlu segera diupayakan.  Bisa  saja dimulai dengan rekruitmen calon-calon Nadzir untuk kemudian dididik dan  dilatih secara khusus sebelum diterjunkan dalam kerja Nadzir secara nyata.
          Lebih dari itu dalam rangka  penyelamatan harta benda wakaf yang sampai saat ini masih cukup rawan hilang atau berpindah tangan secara tidak sah, perlu segera dibentuk tim advokasi yang betul-betul mau bekerja secara ikhlas dan maksimal.  Tim ini  diharapkan  dapat mengatasi sengketa tanah  wakaf yang saat ini cukup banyak  dialami dan terjadi diberbagai daerah, dan pada akhirnya dapat menyelamatkan serta mensertifikatkan tanah-tanah tersebut sebagai harta wakaf.
          Pengembangan harta benda wakaf terutama yang berupa tanah, lebih-lebih yang  produktif tidak cukup hanya  dengan  kemauan dan program yang baik, tetap lebih  dari itu  diperlukan dukungan dana yang cukup.  Untuk itu diperlukan kepintaran, kecerdasan, dan hubungan yang baik dengan beberapa lembaga yang diharapkan dapat memberikan dukungan  pendanaan tersebut; misalnya Pemerintah, bank syariah, ZIS, IDB, LSM dan lainnya.
          Dukungan pengawasan yang ketat dan bertanggung jawab juga sangat diperlukan dalam pengembangan pengelolaan harta wakaf ini.  Pengawasan tersebut dapat  dari luar, tetapi justru yang lebih penting adalah dari dalam sediri.  Ini semua dimaksudkan agar hal-hal yang tidak dinginkan-dan biasanya sebagai penyakit yang paling akut dalam pengelolaan harta wakaf- tidak terjadi.  Ini juga sebagai langkah untuk mendukung pelaksaaan undang-undang wakaf yang di dalamnya juga telah  memuat sanksi pidana  bagi pelanggaran  dalam pengelolaan harta wakaf.

Pemberdayaan harta benda wakaf
          Apabila para pengelola atau para Nadzir harta benda wakaf telah memenuhi standar kualifikasi sebagaiamana yang disebutkan di atas, maka pengelolaan harta wakaf tentu akan bisa berkembang dengan baik.  Dengan pengelola yang demikian,  harta wakaf juga dapat diberdayakan dengan baik dan maksimal sebagaimana diharapkan bersama.  Pemberdayaan harta wakaf tersebut dapat dilakukan dengan  mengupayakannya  sedemikian rupa sehingga harta wakaf dapat dijadikan sebagai:
  • Aset yang menghasilkan produk barang atau jasa.  Tentu ini  memerlukan perencanaan yang matang, termasuk bentuk dan kemungkinan pengembangan serta tantangan dan hambatannya.
  • Aset yang berbentuk investasi  usaha.  Artinya ketika pengelola telah dapat  mengumpulkan keuntngan dari pengelolaan harta wakaf, maka keuntungan yang berupa uang tersebut dapat diinvestasikan dalam bentuk musyarakah maupun mudlarabah kepada lembaga keuangan syariah yang kredibel maupun pengusaha dan pihak-pihak lain yang amanah dan professional.
strategi Pengembangan harta wakaf
          Pada intinya agar pengelolaan harta benda wakaf sebagaimana tersebut dapat diberdayakan dan dikembangkan secara maksimal, perlu dirumuskan strategi yang jitu dan mungkin dilakukan.  Strategi tersebut dapat berupa:
1. Jalinan kemitraan yang harmonis dengan berbagai pihak, misalnya:
  • Investasi perorangan
  • Lembaga Investasi usaha non bank
  • Lembaga perbankan syariah
  • Lembaga perbankan Internasioanl
  • Lembaga Keuangan dengan system BOT (Build of Transfer)
  • Lembaga Penjamin syariah
  • Lembaga Swadaya Masyarakat, dll.
2. Realisasi muatan dan isi undang-undang Wakaf, terutama  tentang Badan Wakaf Indonesia dengan segala kelengkapannya,  dukungan pemerintah dalam hal pendanaan terhadap operasionalisasi BWI,  realisasi fungsi dan peruntukan harta wakaf, serta pengelolaannya secara professional.     
Demikianlah beberapa hal tentang pengelolaan wakaf produktif dan pengembangan serta pemberdayaannya,  semoga ada manfaatnya serta apat dijadikan renungan bersama dalam rangka  pengembangan pengelolaan wakaf secara umum. Amin.
Daftar Bacaan
Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf
Kumpulan peraturan perundangan yang menyangkut wakaf:
Undang-undang Nomor 5 thn. 1960 ttg.  Pokok Agraria
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977
Peraturan Menteri Agama RI No. 1 tahun 1978
Inpres Nomor 1 tahun  1991 tentang KHI
Undang-undang  Yayasan
SK Dir. BI No. 32/34/KEP/DIR ttg Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah
SK Dir. BI No. 32/36/KEP/DIR ttg BPR Berdasarkan Prinsip Syariah
Panduan  Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, diterbitkan Direktorat Pengembangan  Zakat dan Wakaf Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, tahun 2004.
Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, diterbitkan Direktorat Pengembangan  Zakat dan Wakaf Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, tahun 2004.
Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, diterbitkan Direktorat Pengembangan  Zakat dan Wakaf Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, tahun 2004.
 Pola Pembinaan Lembaga Pengelolaan Wakaf (Nadzir) , diterbitkan Direktorat Pengembangan  Zakat dan Wakaf Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, tahun 2004.
Juklak Pensertifikatan Tanah Wakaf, diterbitkan Direktorat Pengembangan  Zakat dan Wakaf Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, tahun 2004.





































PEMANFAATAN HASIL WAKAF PRODUKTIF
A.        PENDAHULUAN
1.         Latar belakang
Meskipun wakaf telah memainkan peran penting dalam pembangunan masyarakat Muslim sepanjang sejarah perkembangan Islam, namun dalam kenyataannya, persoalan perwakafan belum dikelola secara baik sebagaimana tujuan para wakif itu sendiri, khususnya di Indonesia. Untuk itu sudah waktunya kita mengkaji, menganalisis dan menerapkan strategi pengelolaan dalam rangka pengembangan wakaf secara berkesinambungan agar harta wakaf, khususnya tanah wakaf yang setrategis bisa dijadikan salah satu alternatif nyata dalam pemberdayaan ekonomi umat. Di Indonesia memang masih sedikit orang yang mewakafkan tanahnya dalam bentuk tanah produktif, andaikata ada, untuk mengelola tanah tersebut masih memerlukan biaya yang tidak sedikit dan biaya tersebut harus diusahakan. Oleh karena itu sudah saatnya umat Islam Indonesia memikirkan cara mengelola wakaf yang ada ini supaya dapat mendatangkan kemanfaatan pada semua pihak, baik bagi wakaif maupun mauquf `alaih (masyarakat).
Hal ini penting dilakukan karena dalam kenyataannya di negeri kita,kondisi tanah wakaf justru banyak yang menurun nilainya karena tidak adanya pemeliharaan dan pengembangan asset secara baik.. Agar tetap memberikan manfaat kepada mauquf`alaih (penerima wakaf) seperti faqir miskin atau mustahiq lainnya, paerlu adanya tekad semua fihak untuk bahu membahu dalam mengembangkannya.
2.         Landasan Hukum
Dalil yang menjadi dasar disyari`atkan ibadah wakaf bersumaber dari :
a)  Ayat Al-Quran, antara lain :
Al-Quran Surat Al Haj : 7
“Perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”
Al-Quran Surat Ali Imran : 92
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui”
b)  Sunnah Rasulullah saw.
Ada hadits Nabi yang lebih tegas menggambarkan dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi kepada Umar untuk mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar :
Yang artinya : “Dari Ibnu Umar ra. Berkata, bahwa sahabat Umar ra. Memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rosulullah untuk memohon petunjuk. Umar berkata : Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya engkau perintahkan kepadaku ? Rasulullah menjawab : Bila kamu suka,kamu tahan (pokoknya). Kemudian Umar kemudian shadaqah, tidak dijual, tidak diwariskan dan tidak juga dihibahkan. Berkata Ibnu Umar : Umar menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarangt bagi yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan baik (sepantasnya)  atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR. Muslim).
Dalam sebuah hadits yang lain disebutkan :
Dari Ibnu Umar, ia berkata : “Umar mengatakan kepada Nabi saw. Saya mempunyai seratus dirham saham di Khaibar. Saya belum pernah mendapat harta yang paling saya kagumi seperti itu. Tetapi saya ingin menyedekahkannya. Nabi saw mengatakan   kepada Umar : Tahanlah (jangan jual, hibahkan dan wariskan)asalnnya (modal pokok) dan jadikan buahnya sedekah untuk sabilillah”. (HR.Bukhari dan Muslim).
Sedikit sekali memang ayat al-Qur’an dan as-Sunnah yang menyinggung tentang wakaf. Karena itu sedikit sekali hukum-hukum wakaf yang ditetapkan berdasarkan kedua Sunnah yang sedikit itu mampu menjadi pedoman para ahli fikih Islam. Sejak masa khulafa’u Rasyidin sampai sekarang, dalam membahas dan mengembangkan hukum-hukum wakaf melalui ijtihad mereka. Sebab itu sebagian besar hokum-hukum wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil ijtihad, dengan menggunakan metode ijtihad yang bermacam-macam, seperti qiyas dan lain-lain.
c). Dasar Hukum Pemerintah RI
1. Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf
2. Undang-Undang Pokok Agraria
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) masalah wakaf dapat kita ketahui pada pasal 5, pasal 14 ayat 91 dan pasal 49.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf.
4. Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Beberapa ketentuan Hukum Perwakafan menurut KHI yang merupakan pengembangan dan penyempurnaan terhadap materi perwakafan yang ada pada perundang-undangan sebelumnya, antara lain : Obyek Wakaf, Sumpah Nazhir, Jumlah Nazhir, Perubahan Benda Wakaf, Pengawasan Nazhir, Peranan Majelis Ulama dan Camat, Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Nazhir dilakukan secara bersama-sama oleh Kepala  KUA Kecamatan, MUI Kecamatan dan Pengadilan Agama yang mewilayahinya (pasal 227). ( Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, terbitan : Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam, Depag RI,tahun 2008,hal. 33).
3.         Tujuan.
  • Semangat pemberdayaan potensi Wakaf secara profesional produktif tersebut semata-mata untuk kepentingan kesejahteraan umat manusia, khususnya muslim Indonesia yang sampai saat ini masih dalam keterpurukan ekonomi yang sangat menyedihkan, baik di bidang pendidikan, kesehatan, teknologi maupun bidang sosial lainnya. Cukup banyak program-program yang bisa didanai dari hasil wakaf seperti penulisan buku, penerjemahan dan kegiatan kegiatan ilmiah dalam berbagai bidang, termasuk bidang kesehatan.
B.        PEMANFAATAN TANAH WAKAF
Menurut data Kementerian Agama terakhir terdapat kekayaan tanah wakaf di Indonesia sebanyak 403.845 lokasi dengan luas 1.566.672.406 M2. Dari total jumlah tersebut 75 % diantaranya sudah bersertifikat wakaf dan sekitar 10 % memiliki potensi ekonomi tinggi, dan masih banyak lagi yang belum terdata. ( Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, terbitan : Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam, Depag RI,tahun 2008,hal. 37).
Namun pada umumnya tanah-tanah wakaf tersebut pengelolaannya bersifat konsumtif dan tradisional, karena :
a.     Sempitnya  pola pemahaman masyarakat terhadap harta yang akan diwakafkan.
b.    Pada umumnya masyarakat yang mewakafkan hartanya diserahkan kepada orang yang dianggap panutan dalam lingkup masyarakat tertentu, seperti ulama,  kyai, ustadz dan tokoh adat lainnya secara lisan yang pada kenyataannya sekarang banyak menimbulkan persengketaan.
c.     Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pendaftaran tanah wakaf. Hal ini memberikan peluang terjadinya penyalahgunaan atau bahkan pengambilan paksa oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Dengan demikian, wakaf yang ada di Indonesia sementara ini sulit berkembang sebagaimana mestinya, jika tidak ada upaya yang sungguh-sungguh dan total oleh semua pihak yang terkait dalam memperbaiki sistem dan profesionalisme pengelolaan tanah wakaf. Begitu pentingnya wakaf bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Wakaf sebagai salah satu lembaga Islam yang erat kaitanyya dengan kesejahteraan sosial dan ekonomi serta sudah melembaga di Indonesia, tampaknya perlu dievaluasi sejauhmana lembaga tersebut mampu mengatasi kemiskinan jika dikelola sebagaimana mestinya.
Suatu kenyataan yang dilihat bahwa wakaf yang ada di Indonesia umumnya berupa Masjid, Musholla,  Madrasah, Sekolah, Kuburan, rumah yatim piatu. Dilihat secara sepintas, tampaknya wakaf kurang berperan dalam mewujudkan kesejahteraan umat. Hal ini mudah dipahami karena kebanyakan wakaf yang ada kurang maksimal dalam pengelolaannya dan kadangkala tanah yang diwakafkan juga sulit untuk dikembangkan secara produktif. Kondisi ini disebabkan oleh keadaan tanah wakaf yang sempit dan hanya cukup dipergunakan untuk tujuan wakaf yang diikrarkan seperti untuk mendirikan masjid. Jika teradapat tanah wakaf yang cukup luas dan memungkinkan untuk dikelola secara produktif,  sebagai contoh tanah wakaf yang ada dapat didirikan gedung pertemuan yang memungkinkan untuk disewakan, sehingga menghasilkan dana. Akan tetapi karena nadzirnya kurang kreatif tanah yang memungkinkan dapat dikelola secara produktif itu akhirnya tidak diamanfaatkan sama sekali, bahkan perawatannyapun harus dicarikan sumbangan dari masyarakat.
Di beberapa Negara dalam hal pemanfaatan tanah wakaf tidak hanya berupa tanah dan bangunan, tetapi juga berupa Investasi saham, uang, real estate, tanah pertanian, flat, tempat ibadah, dan pendidikan yang kesemuanya dikelola dengan baik dan produktif, sehingga hasilnya dapat digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan umat. (Achmad Djunaidi dan Thobieb Al Asyhar. Menuju Era Wakaf Produktif, diterbitkan oleh : Mumtaz Publishing Depok Cet. V hal.32)
Di negeri Mesir pada awalnya, Hakim Mesir di zaman Hisyam bin Abd. Malik yang bernama Taubah bin Namirlah mewakafkan tanah untuk bendungan. Di negeri ini dari segi kuantitas, jumlah lahan pertanian hasil wakaf masyarakat sampai dengan awal abad ke-19 mencapai sekitar sepertiga dari total jumlah lahan pertanian yang ada, itu belum termasuk wakaf tanah yang dimanfaatkan untuk pembangunan gedung sekolah, Masjid, rumah sakit, panti anak yatim.
Salah satu keunggulan Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir terletak pada wakafnya yang teramat besar. Bukan hanya wakaf tanah, gedung dan lahan pertanian, tetapi juga wakaf tunai. Dengan wakaf yang amat besar itu. Al Azhar mampu membiayai operasional pendidikannya selama berabad-abad tanpa tergantung pada pemerintah maupun pembayaran siswa dan mahasiswanya. Al-Azhar bahkan mampu memberikan beasiswa kepada ribuan mahasiswa dari seluruh penjuru dunia selama berabad-abad.
Pemerintah Arab Saudi belakangan mulai menerapkan pengelolaan wakaf produktif melalui sistem perusahaan. Setelah berhasil dengan investasi harta wakaf dalam bentuk saham pada sebuah perusahaan pemborong dan bangunan yang menghasilkan keuntungan jauh berlipat ganda. Kementerian Wakaf Arab Saudi berencana akan mengembangkan pengelolaan wakaf dengan system perusahaan secara lebih luas.(Kumpulan Hasil Seminar Perwakafan, Deoartemen Agama RI Direktorat Jenderal imbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Tahun 2004)
C.        PERMASALAHAN DAN PEMECAHANNYA
1.         Permasalahan wakaf produktif
Untuk mengubah pola pengelolaan tanah wakaf dari yang belum produktif menjadi lebih produktif di Indonesia ternyata tidak semudah membalik telapak tangan akan tetapi banyak hambatan-hambatan yang menghalanginya, diantaranya :
a.    Paham Umat Islam Tentang Wakaf
Wakaf telah dilaksanakan berdasarkan paham yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, yaitu paham Syafi`iyyah sebagaimana mereka mengikuti madzhabnya, seperti tentang : ikrarnya, harta yang boleh diwakafkan, dan boleh tidaknya tukar menukar harta wakaf.
Pertama, ikrar wakaf. Adat kebiasaan masyarakat Islam Indonesia melakukan perbuatan hukum perwakafan tanah secara lisan atas dasar saling percaya kepada seseorang atau lembaga tertentu, tanpa melalui prosedur administratif, harta wakaf dianggap milik Allah yang tidak akan pernah ada pihak yang berani mengganggu gugat. Walaupun pada akhirnya nanti bisa menimbulkan persengketaan-persengketaan karena tiadanya bukti-bukti yang mampu menunjukkan bahwa benda-benda bersangkutan telah diwakafkan. ( Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, terbitan : Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam, Depag RI,tahun 2008,hal. 62).
Kedua, harta yang boleh diwakafkan. A. Harus memiliki nilai guna, yaitu tidak syah hukumnya mewakafkan sesuatu yang bukan benda, seperti : Hak irigasi, hak pakai, hak intelektual, dan lain-lain. B. Benda tetap atau benda bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan. Kebiasaan masyarakat Indonesia dalam sejarahnya dan juga sampai sekarang pada umumnya mewakafkan harta berupa benda yang tidak bergerak, seperti tanah, bangunan masjid, madrasah, pesanatren, rumah sakit, panti asuhan dan lain sebagainya. Dan pandangan ini secara kebetulan telah disepakai oleh semua madzhab empat. garis umum yang dijadikana sandaran golongan syafi`iyyah dalam mewakafkan hartanya dilihat dari kekekalan fungsi atau manfaat dari harta tersebut, baik berupa barang bergerak, barang tak bergerak maupun barang kongsi (milik bersama).
Ketiga, boleh tidaknya tukar menukar harta wakaf. Dalam masalah ini, mayoritas wakif dari umat islam Indonesia berpegang pada pandangan konservatif Syafi`i sendiri yang menyatakan bahwa harta wakaf tidak boleh ditukar dengan alas an apapun. Dalam kasus masjid misalnya, Imam Syafi`i menegaskan bahwa tidak boleh menjual masjid wakaf secara mutlak, sekalipun masjid itu roboh.
Keempat, adanya kebiasaan masyarakat kita yang ingin mewakafkan sebagian hartanya dengan mempercayakan penuh kepada seseorang yang dianggap tokoh dalam masyarakat sekitar, seperti kyai, ulama, ustadz dan lain-lain untuk mengelola harta wakaf sebagai Nadzir. Orang yang mewakafkan tidak atahu persis kemampuan yang dimiliki oleh nadzir tersebut. Dalam kenyataannya, banyak para Nadzir wakaf tersebut tidak mempunyai kemampuan manajerial dalam pengelolaan tanah atau bangunan sehingga harta wakaf tidak banyak bermanfaat bagi masyarakat sekitar.
b.    Jumlah Tanah Wakaf Strategis dan Kontroversi Pengalihan Wakaf untuk Tujuan Produktif.
Banyak tanah wakaf strategis, tetapi pengelolaannya belum produktif dikarenakan wakif dan nadzirnya pada saat terjadinya wakaf,  tidak atau belum mampu mengetahui kondisi dan perkembangan lingkungan setempat, misalnya ada lokasi tanah wakaf yang strategis didirikan tempat ibadah (masjid), sedangkan masjid itu telah ditinggalkan oleh jama’ahnya. Sedangkan pola pikir tentang perwakafan pada masyarakat kita masih banyak kita jumpai pemahaman yang justru kontraproduktif dengan hakekat wakaf yang sebenarnya demi kemaslahatan umat. Dalam hal ini kita juga mengakui adanya kentalnya pengaruh madzhab Syafi’i yang oleh sebagian pihak justru dianggap kurang menunjang efektifitas dan produktifitas / optimalisasi harta benda wakaf.
c.    Banyaknya Tanah Wakaf Yang Belum Bersertifikat
Tanah wakaf yang mempunyai kepastian hukum ialah mempunyai syarat-syarat administrasi yang telah diatur oleh ketentuan PP No. 28/1977 serta peraturan pelaksanaanya, khususnya mempunyai sertifikat tanah.
Memang banyak kendala mengapa tanah wakaf di Indonesia sampai saat ini masih banyak yang belum mempunyai sertifikat tanah wakaf karena masih banyaknya tanah wakaf yang belum mempunyai bukti perwakafan, hal itu disebabkan masih banyaknya masyarakat yang mewakafkan tanahnya secara lisan karena factor kepercayaan terhadap Nadzir perorangan atau Nadzir Lembaga.
Disamping factor awal keengganan wakaf ddalam pembuatan sertifikat wakaf, di lingkungan internal birokrasi sendiri, khususnya BPN terdapat beberapa kendala. Kendala utama ialah factor pembiayaan administrasi proses sertifikasi wakaf yang belum memadai dari pihak pemerintah, khususnya Kementerian Agama.
d.    Nadzir Wakaf Masih Tradisional
Salah satu hal yang selama ini menjadi hambatan riil dalam pengembangan wakaf produktif di Indonesia adalah keberadaan Nadzir (pengelola) wakaf masih tradisional.
Ketradisionalan Nadzir dipengaruhi, diantaranya :
ü      Karena masih kuatnya paham mayoritas umat Islam Indonesia (madzhab Syafi`i) yang masih stagnan (beku) terhadap persoalan wakaf.
ü      Rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Nadzir wakaf.
ü      Lemahnya kemauan para Nadzir, banyak para Nadzir wakaf yang tidak memiliki militansi yang kuat dalam membangun semangat pemberdayaan wakaf untuk kesejahteraan umat.
2.         Pemecahan masalah
Kedepan ada beberapa hal penting yang perlu menjadi perhatian dalam usaha mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam pengelolaan wakaf produktif sehingga lebih maksimal dalam segi kemanfaatannya.
Poin penting itu terutama menyangkut masalah peningkatan produktifitas kekayaan wakaf di Tanah Air;
  • Perlunya digalakkan sosialisasi perwakafan berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI); yang merupakan Unifikasi dari berbagai Madzhab yang ada di tanah air dengan harapan agar ada pencerahan pemahaman yang lebih luas, leluasa (fleksibel) terhadap perwakafan nasional sehingga hakekat tujuan wakaf demi kemaslahatan umat lebih dapat diwujudkan dan dimanfaatkan secara lebih berdaya guna dan berhasil guna.
  • Adanya kerjasama antara Instansi terkait tentang proses sertifikasi tanah wakaf ;  kerjasama ini harus dilakukan melihat hambatan-hambatan proses sertifikasi tanah wakaf tidak hanya terkait oleh satu instansi saja. Ini harus ada MOU antara Kementerian Agama dengan BPN baik di pusat dan dilaksanakan di daerah. Terkait pendanaan memang selama ini bantuan dana melalui DIPA di Kementerian Agama untuk sertifikasi masih belum cukup sehingga perlu di tambah nominalnya, juga bisa dilakukan melalui pendekatan kepada Pemerintah Daerah oleh Kementerian Agama agar Pemerintah Daerah memasukkan biaya sertifikasi tanah wakaf ke dalam RAPBD.
  • Pembinaan dan pelatihan Nadzir wakaf ;  untuk pengelolaan harta wakaf supaya lebih meningkat produktifitasnya, maka memerlukan pembinaan tenaga ahli perwakafan seperti ahli hukum perwakafan dan nadzir wakaf. Nadhir harus memenuhi syarat-syarat yang memungkinkan, agar wakaf bisa diperdayakan dan lebih luas segi pemanfaatannya. Apabila nadzir tidak mampu melaksanakan tugas (kewajibannya), maka pemerintah dalam hal ini BWI wajib menggantinya dengan tetap menjelaskan alasan-alasannya.
  • Perlunya digalakkan sosialisasi perwakafan berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI); yang merupakan Unifikasi dari berbagai Madzhab yang ada di tanah air dengan harapan agar ada pencerahan pemahaman yang lebih luas, leluasa (fleksibel) terhadap perwakafan nasional sehingga hakekat tujuan wakaf demi kemaslahatan umat lebih dapat diwujudkan dan dimanfaatkan secara lebih berdaya guna dan berhasil guna.
C.        SARAN DAN PENUTUP
1.         Saran
Paradigma pengelolaan wakaf yang sudah menjadi wacana pengkajian dan penerapannya secara lebih produktif, sesungguhnya telah dicontohkan oleh Nabi SAW yang subtansinya adalah, agar pengelolaan harta benda wakaf itu dapat berjalan secara professional, oleh karena itu pemberdayaan wakaf secara produktif kiranya dapat dijadikan sebagai gerakan bersama dalam rangka membangun sektor ekonomi yang dapat mengangkat martabat dan kemandirian umat. Adapun langkah yang kami sarankan untuk dijalankan antara lain :
1. Menyediakan dana yang diperlukan untuk mengembangkan wakaf.
2. Merumuskan kembali konsepsi fiqih wakaf Indonesia.
3. Mensosialisasikan wakaf produktif kepada masyarakat dan instansi terkait.
4. Menyiapkan Nadzir wakaf yang professional.
2.         Penutup
Salah satu tujuan disyariatkan wakaf adalah untuk mewujudkan kesejahteraan social. Untuk Nadzir mempunyai kewajiban dan tanggung jawab memelihara wakaf serta mengembangkannya, sehingga meningkatkan kesejahteraan umat. Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan diperlukan langkah-langkah yang setrtegis untuk mengembangkan wakaf yang ada dengan diiringi peningkatan profesionalisme para Nadzir wakaf. Dengan demikian nadzir dapat mengelola wakaf secara produktif. Agar pengelolaan wakaf di Indonesia harus diatur dengan Undang-undang.
DAFTAR PUSTAKA
1.           Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang pelaksanaannya
Diterbitkan Oleh : Departemen Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Jakarta Tahun 2008.
2.           KUMPULAN HASIL SEMINAR PERWAKAFAN
Departemen Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji Direktorat Pengembangan Zakat & Wakaf Tahun 2004.
3.           MENUJU ERA WAKAF PRODUKTIF, Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar.
Diterbitkan Oleh : Mumtaz Publishing Jl. Bukit Cinere Kav. 156-D Limo Depok 16512. Cetakan V 2008.
4.           PANDUAN PEMBERDAYAAN TANAH WAKAF PRODUKTIF SETRATEGIS di INDONESIA
Diterbitkan Oleh : Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI Tahun 2008




















Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat

http://jakarta45.wordpress.com/2009/07/19/wakaf-untuk-kesejahteraan-umat/

By Uswatun Hasanah
Kamis, 28 Mei 2009 pukul 17:59:00

Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat
JAKARTA — Wakaf adalah bagian hukum Islam yang mendapat pengaturan secara khusus dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dengan demikian, wakaf merupakan salah satu lembaga hukum Islam yang telah menjadi hukum positif di Indonesia.
Sebagai suatu lembaga keagamaan, di samping berfungsi sebagai ibadah kepada Allah, wakaf juga berfungsi sosial. Dalam fungsinya sebagai ibadah, wakaf diharapkan menjadi bekal bagi kehidupan wakif (pemberi wakaf) di hari akhirat karena pahalanya akan terus menerus mengalir selama harta wakaf itu dimanfaatkan.
Adapun dalam fungsi sosialnya, wakaf merupakan aset yang sangat bernilai dalam pembangunan. Peranannya dalam pemerataan kesejahteraan di kalangan umat dan penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu sasaran wakaf.
Dengan demikian, jika wakaf dikelola dengan baik maka akan sangat menunjang pembangunan, baik di bidang ekonomi, agama, sosial, budaya, politik maupun pertahanan keamanan. Di berbagai negara yang perwakafannya sudah berkembang dengan baik, wakaf merupakan salah satu pilar ekonomi yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Negara yang sangat berpengalaman dalam mengembangkan wakaf, antara lain Mesir dan Turki. Wakaf di Mesir dikelola oleh Badan Wakaf Mesir yang berada di bawah Wizaratul Auqaf. Salah satu di antara kemajuan yang telah dicapai oleh Badan Wakaf Mesir adalah berperannya harta wakaf dalam meningkatkan ekonomi masyarakat.
Pengelolaannya dilakukan dengan cara menginvestasikan harta wakaf di bank Islam dan berbagai perusahaan, seperti perusahaan besi dan baja. Dengan dikembangkannya wakaf secara produktif, wakaf di Mesir dapat dijadikan salah satu lembaga yang diandalkan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umat.
Di samping Mesir, masih ada beberapa negara yang mengelola wakaf secara produktif, salah satunya adalah Turki. Di Turki, wakaf dikelola oleh Direktorat Jenderal Wakaf.
Dalam mengembangkan wakaf, pengelola melakukan investasi di berbagai perusahaan, antara lain: Ayvalik and Aydem Olive Oil Corporation; Tasdelen Healthy Water Corporation; Auqaf Guraba Hospital; Taksim Hotel (Sheraton); Turkish Is Bank; Aydin Textile Industry; Black Sea Copper Industry; Contruction and Export/Import Corporation; Turkish Auqaf Bank.
Hasil pengelolaan wakaf itu kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan kepentingan sosial lainnya.
Solusi Pengentasan Kemiskinan
Sementara di Indonesia, saat ini kemiskinan dan pengangguran masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Walaupun pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan, namun kebijakan pemerintah itu belum mampu mengentaskan kemiskinan.
Kemiskinan merupakan persoalan yang menakutkan, yang dapat merajalela dan berpengaruh kepada sistem kehidupan yang lebih makro, sehingga tidak ada jalan lain kecuali harus dilenyapkan.

Kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat sebenarnya tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Untuk menghadapi masalah kemiskinan tersebut, sebenarnya dalam Islam ada beberapa lembaga yang potensial untuk dikembangkan untuk mengatasi kemiskinan, salah satu di antaranya adalah wakaf.
Untuk menghadapi masalah kemiskinan tersebut, sebagaimana pengalaman Mesir dan Turki sudah seharusnya kita mengembangkan wakaf produktif.
Sudah selayaknya bangsa Indonesia umumnya dan umat Islam khususnya menyambut baik kehadiran Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf karena Benda wakaf yang diatur dalam undang-undang tentang wakaf ini tidak dibatasi benda tidak bergerak saja, melainkan juga benda-benda bergerak lainnya yang tidak bertentangan dengan syariat Islam termasuk wakaf uang dan surat berharga.
Pertanyaannya, mengapa wakaf yang sudah dipraktikkan di Indonesia sejak masuknya Islam di tanah air, sampai saat ini belum dapat meningkatkan kesejahteraan umat, sementara jumlah tanah wakaf di Indonesia sangat banyak dan luas? Masalah berikutnya adalah bagaimana cara mengembangkan harta wakaf tersebut?
Menurut penulis, ada beberapa faktor yang menyebabkan wakaf di Indonesia belum berperan dalam memberdayakan ekonomi umat.
Pertama, masalah pemahaman masyarakat tentang hukum wakaf. Pada umumnya masyarakat belum memahami hukum wakaf dengan baik dan benar, baik dari segi rukun dan syarat wakaf, maupun maksud disyariatkannya wakaf.
Kedua, pengelolaan dan manajemen wakaf. Saat ini pengelolaan dan manajemen wakaf di Indonesia masih memprihatinkan. Sebagai akibatnya cukup banyak harta wakaf terlantar dalam pengelolaannya, bahkan ada harta wakaf yang hilang. Salah satu penyebabnya adalah pengelolaannya yang tidak profesional.
Ketiga, benda yang diwakafkan. Pada umumnya tanah yang diwakafkan umat Islam di Indonesia hanyalah cukup untuk membangun masjid atau mushalla, sehingga sulit untuk dikembangkan. Di Indonesia masih sedikit orang yang mewakafkan harta selain tanah (benda tidak bergerak), padahal dalam fikih harta yang boleh diwakafkan sangat beragam termasuk surat berharga dan uang.
Keempat, nazir wakaf. Dalam perwakafan, salah satu unsur yang amat penting adalah nazir. Nazir adalah orang yang diserahi tugas untuk mengurus, mengelola, dan memelihara harta benda wakaf. Berfungsi atau tidaknya wakaf sangat tergantung pada kemampuan nazir. Di berbagai negara yang wakafnya dapat berkembang dan berfungsi untuk memberdayakan ekonomi umat, wakaf dikelola oleh nazir yang profesional.
Untuk mengembangkan wakaf produktif di Indonesia pada saat ini sudah tidak ada masalah lagi, karena dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 sudah diatur mengenai berbagai hal yang memungkinkan wakaf dikelola secara produktif.
Wakaf Uang

Wakaf uang penting sekali dikembangkan di negara-negara yang kondisi perekonomiannya yang kurang baik, karena berdasarkan pengalaman di berbagai negara hasil investasi wakaf uang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi di negara yang bersangkutan.
Oleh karena itu dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 16 ayat (1) disebutkan bahwa harta benda wakaf terdiri atas benda tidak bergerak dan benda bergerak.
Adapun pada ayat (3) Pasal yang sama disebutkan bahwa benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Masyarakat sering bertanya, sebenarnya apa yang dimaksud dengan wakaf uang? Wakaf uang atau kadang disebut dengan wakaf tunai adalah wakaf berupa uang dalam bentuk rupiah yang dapat dikelola secara produktif, hasilnya dimanfaatkan untuk mauquf `alaih (penerima wakaf).
Menurut M.A. Mannan, wakaf uang dapat berperan sebagai suplemen bagi pendanaan berbagai macam proyek investasi sosial yang dikelola oleh bank-bank Islam, sehingga dapat berubah menjadi bank wakaf.
Adapun sasaran pemanfaatan dana hasil pengelolaan wakaf uang yang dikelola oleh (Social Invesment Banking Limited) SIBL yang dipimpin Prof. Mannan antara lain adalah untuk peningkatan standar hidup orang miskin, rehabilitasi orang cacat, peningkatan standar hidup penduduk hunian kumuh, membantu pendidikan anak yatim piatu, beasiswa, akademi dan universitas, mendanai riset, mendirikan rumah sakit, menyelesaikan masalah-masalah sosial non-muslim, dan membantu proyek-proyek untuk penciptaan lapangan kerja yang penting untuk menghapus kemiskinan sesuai dengan syariat Islam.
Dalam Pasal 28 Undang-Undang tentang Wakaf disebutkan bahwa wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri.
Pada saat ini sudah ada lima Bank Syariah yang ditunjuk oleh Menteri Agama RI sebagai Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang, yakni PT. Bank Negara Indonesia (PERSERO) Tbk. Divisi Syariah; PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk.; PT. Bank DKI Jakarta; PT. Bank Syariah Mandiri; dan PT. Bank Mega Syariah Indonesia.
Potensi Indonesia
Wakaf uang penting sekali untuk dikembangkan di Indonesia di saat kondisi perekonomian kian memburuk. Dalam masalah ini, Mustafa Edwin Nasution pernah melakukan asumsi bahwa jumlah penduduk Muslim kelas menengah di Indonesia sebanyak 10 juta jiwa dengan rata-rata penghasilan per bulan antara 500.000 sampai 10.000.000, maka wakaf yang terkumpul selama satu tahun sejumlah 3 triliun rupiah.
Masalahnya, uang tersebut tidak dapat langsung diberikan kepada mauquf `alaih, tetapi nazir harus mengelola dan mengembangkannya terlebih dahulu. Oleh karena itu menurut saya, nazir selain memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang tentang Wakaf, juga harus memiliki berbagai kemampuan yang yang menunjang tugasnya sebagai nazir wakaf produktif.
Untuk meningkatkan kualitas nazir tersebut, maka pembinaan terhadap mereka perlu segera dilakukan. Untuk itu di dalam Undang-Undang 41 Tahun 2004 tentang Wakaf diamanatkan perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia.
Dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Tentang Wakaf disebutkan bahwa dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional, dibentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf disebutkan bahwa BWI merupakan lembaga independen dalam melaksanakan tugasnya. Adapun tugas dan wewenang BWI disebutkan dalam Pasal 49 ayat (1).
Dalam Pasal tersebut dinyatakan bahwa BWI mempunyai beberapa tugas dan wewenang, antara lain melakukan pembinaan terhadap nazir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf, lalu melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional.
Sehubungan dengan tugas dan wewenangnya tersebut BWI merumuskan visi, yaitu terwujudnya lembaga independen yang dipercaya masyarakat, mempunyai kemampuan dan integritas untuk mengembangkan perwakafan nasional dan internasional. Adapun misinya adalah menjadikan BWI sebagai lembaga profesional yang mampu mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda untuk kepentingan ibadah dan kesejahteraan umum.
Untuk merealisasikan visi dan misi tersebut, BWI telah merumuskan beberapa strategi sebagaimana tertulis dalam naskah, dan untuk merealisasikan visi, misi, dan strategi yang sudah ada, BWI mempunyai lima divisi, yaitu Divisi Pembinaan Nazhir, Divisi Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf, Divisi Kelembagaan, Divisi Hubungan Masyarakat dan Divisi Penelitian dan Pengembangan.
Diharapkan dengan strategi dan program-program kerja divisi-divisi yang ada, BWI dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik. Untuk merealisasikan program-program tersebut, tidaklah mudah. Oleh karena di samping memerlukan biaya yang cukup besar, sumberdaya yang memadai, juga diperlukan peraturan untuk menjalankannya.
Sebagai contoh kasus, dalam menerapkan wakaf uang. Meskipun beberapa bank yang ditunjuk Menteri Agama sebagai LKS Penerima Wakaf Uang sudah siap untuk mengaplikasikannya, tetapi sampai saat ini belum dapat bekerja secara optimal karena Peraturan Menteri Agama tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang seperti diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 masih dalam proses.
Untuk mengelola wakaf uang, BWI telah mengeluarkan Peraturan tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf Bergerak Berupa Uang (Peraturan BWI No. 1 dan 2 tahun 2009). Dengan Peraturan BWI tersebut diharapkan nazir wakaf uang yang selama ini sudah ada, dapat mengaplikasikannya sesuai dengan peraturan yang ada.
Penulis yakin dengan pembinaan nazhir yang akan dilakukan BWI, di masa yang akan datang, Indonesia akan memiliki nazir-nazir yang profesional, yang mampu mengelola wakaf secara produktif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Dengan demikian, hasil pengembangan wakaf yang dikelolanya dapat digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.
Meskipun demikian, harus kita sadari bersama bahwa berhasilnya pengelolaan dan pengembangan wakaf di Indonesia tidak hanya ditentukan oleh kemampuan nazir, tetapi juga sangat tergantung pada komitmen bersama antara nazir, masyarakat khususnya umat Islam, BWI dan pemerintah. Wallahu a’lam.-ant/taq
<a href=”http://ads.admaxasia.com/servlet/ajrotator/366860/0/cc?z=admaxasia2″> <img src=”http://ads.admaxasia.com/servlet/ajrotator/366860/0/vc?z=admaxasia2&dim=280658&abr=$imginiframe” width=”468″ height=”60″ border=”0″></a>



[1]M. Ichsan Amir Mujahid, Strategi Nazhir Dalam Pengembangan Wakaf Produktif, http://k2ichsan.blogspot.com/2012/06/strategi-nazhir-produktif-2.html, Diakses tanggal  05 Juni 2012

[2] Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag, Paradikma Baru Dalam Pengelolaan dan Pemberdayaan Wakaf Produktif, http://www.walisongo.ac.id/view/?p=kolom&id=paradigma _baru_pengelolaan _dan_pemberdayaan_wakaf_produktif_di_indonesia , Dikases tanggal 05 Juni 2012
[4]Kementerian Agama RI, Model Pemberdayaan  Wakaf Produktif, (Jakarta: Dirjend Bimas Islam, 2010), h.28
[6] . Dr. H. Muhibbin, M.Ag, Paradikma Baru Dalam Pengelolaan dan Pemberdayaan Wakaf Produktif, http://www.walisongo.ac.id/view/?p=kolom&id=paradigma _baru_pengelolaan _dan_pemberdayaan_wakaf_produktif_di_indonesia, Loc.cit.
[8]Ibid,
[9]Departemen Agama RI, Pamplet Pemberdayaan Tanah Wakaf Secara Produktif (Upaya Pengembangan Potensi Ekonomi Umat), (Jakarta: Dirjen Bimas Islam Direktorat Pemberdayaan wakaf, 2007)
[10]Lihat : Departemen Agama RI, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggara haji, 2005)
[12]Dalam pamphlet lain yang dikeluarkan Departemen Agama In put amanah dalam pengelolaan bias dilihat dari Sumber Daya Manusia (SDM)nya, dalam hal wakaf adalah pihak Nazhir, yaitu: memiliki standar pendidikan yang tinggi dan standard moralitas yang unggul, memiliki keterampilan lebih, adanya pembagian kerja, adanya standard hak dan kewajiban, adanya standard operasional yang jelas dan terarah. Lihat:  Departemen Agama RI, Nazhir Profesional dan Amanah, (Jakarta: Dirjend Bimas Islam Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2008)
[13] Departemen Agama RI, Pamplet Pemberdayaan Tanah Wakaf Secara Produktif (Upaya Pengembangan Potensi Ekonomi Umat, Loc.cit.

No comments:

Post a Comment